Demo Site

Selasa, 06 April 2010

Beda Ta'aruf dan Pacaran


Pertanyaan
Assalaamu'alaikum Wr Wb Ba'da Tahmid & Sholawat, Ustadz Ihsan yang saya Hormati, Saya adalah seorang pemuda yang merindukan terbentuknya suatu generasi yang Islami melalui pernikahan dengan membina rumah tangga yang ber-Orientasi ke Syurga (Rumah-ku Laksana Syurga-ku/Baiti Jannati/Home Sweet Home).
Saat ini saya bekerja disebuah perusahaan telekomunikasi di Jakarta. Di sela-sela kesibukan saya ada 2 hal yang menggelayut di fikiran saya. Pertama masalah Pendidikan, karena saya bertekad untuk melanjutkan ke Sekolah yang lebih tinggi lagi. Dan yang kedua adalah masalah "Walimah", karena teman-teman sesama aktivis selalu membicarakannya (ehm.. ehm...).

Belakangan ini ada seorang muslimah yang singgah di hati saya. Dia adalah teman lama saya dan telah 4 tahun tidak berjumpa (beda sekolah). Dia berbeda umur 1 tahun dengan saya. Saat ini dia masih kuliah di Bogor.
Perasaan ini terkadang datang terkadang hilang. Meskipun saya menyukainya, saya belum menterjemahkan perasaan suka saya itu ke langkah-langkah yang lebih taktis. Meskipun saya belum tahu perasaan dia sebenarnya, kemungkinan besar dia tahu perasaan saya itu, karena belum saya ungkapkan kepadanya secara langsung.
Karena ingin menjaga hati dan khawatir merusak konsentrasi kuliah dia, saya berusaha menyembunyikan perasaan itu sampai waktu yang belum bisa di tentukan. Saya meyakini bahwa proses awal yang bersih akan membawa ke rumah tangga yang berkah, Insya Allah.
Pertanyaan Saya adalah :
1. Untuk kasus saya ustadz, sebenarnya saya masih ragu apakah saya sudah pantas untuk "W" atau belum?! Mengingat usia saya masih .... 20 Tahun. Dan bagaimana tanggapan ustadz atas konsep "Pernikahan Dini" yang tengah santer disosialisasikan sebagai Solusi bagi masalah remaja. Mengingat ada sebagian lain yang masih mempertanyakan Realitasnya?
2. Tolong diperjelaskan batasan " Ta'aruf " itu didalam Islam? Dan apasih perbedaan yang substansial dengan "Pacaran"? Apakah ta'aruf bisa melalui Telephon? Karena tidak ada batasan waktu yang jelas dalam ta'aruf saya khawatir kalau proses ta'aruf itu menjadi "pacaran yang tersamarkan", dan saya tidak mau terjebak dalam kedua istilah itu. Mungkin kalau ustadz tidak berkeberatan ustadz bisa menceritakan proses ustadz dahulu dengan istri tercinta.
3. Tolong diperjelas tentang "Nazhor" (Melihat calon pasangan) itu, apa saja yang boleh dilihat & apakah kita harus melakukannya secara formal dengan kita datang ke rumahnya, atau tidak mengikat waktunya (kapan saja) dan bagaimana batasannya agar tidak jatuh kepada "Zina mata"?
4. Terakhir Ustadz, bagaimana jika seorang pria tertarik dengan seorang wanita yang belum terbina? Maksudnya belum menutup auratnya dengan sempurna, tetapi Insya Allah dia "Hanif" dan mempunyai Akhlaq yang baik. Atau lebih baik menunggu datangnya seorang muslimah Idaman? Mengingat terkadang ada lho muslimah yang "Bocor" (he..he..).
Afwan sebelumnya kalau suratnya agak panjang. Saya do'akan ustadz sekeluarga diberkahi oleh Allah SWT. Diberikan rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka. Titip salam saya untuk istri. Insya Allah jawaban ustadz berguna bagi lelaki yang sudah "JW" (Jiwa Walimah), tetapi belum berani merealisasikannya.
Syukron, Jazakallahu Khoiru Jazaa. Amien.
Wassalamu 'Alaikum Wr. Wb.
Fikri - Tebet

Jawaban
Assalaamu'alaikum Wr Wb,
1. Jika anda sudah baligh, sudah pernah mimpi basah, maka anda sudah pantas untuk menikah. Jika anda bukan orang yang buta tuli lumpuh seluruh tubuh dan lemah mental, maka Insya Allah anda sudah pantas menikah dan mencari nafkah. Jika anda bukan peminat cinta sejenis, anda selayaknya segera menikah. Jika anda pengikut Nabi Muhammad SAW dan penghamba kepada Rabb Semesta Alam yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka anda wajib menikah segera setelah semua syarat terpenuhi. Jelas?
Konsep “Pernikahan Dini” adalah konsep yang terpaksa kita terima. Karena sebenarnya pernikahan ya tetap pernikahan, segera setelah sanggup menikahlah. Terpaksa kita mengakui adanya konsep pernikahan yang dini (dibedakan dengan pernikahan yang tua atau biasa) adalah karena masyarakat kita masih mengakui konsep remaja. Katakanlah konsep ini dimaksudkan agar masyarakat kita mempunyai tahap peralihan dari adat non Islam ke adat Islam. Dalam Islam tak ada istilah remaja. Yang ada adalah fase anak (sebelum baligh dan belum berdosa) dan dewasa (sesudah baligh dan dosanya sudah dihitung). Yang pasti, seorang yang sudah baligh seharusnya sudah dapat menjalankan seluruh kewajibannya sebagai istri atau suami yang wajar termasuk mencari nafkah dan bertanggung jawab terhadap keluarga.
Saat ini seorang yang baligh pada usia 12-13 tahun hampir bisa dipastikan masih pakai celana pendek (smp) dan belum mampu cari nafkah dan bertanggung jawab terhadap anak istri. Kelak kalau syariat Islam sudah ditegakkan di mana-mana tak ada lagi konsep pernikahan dini karena semua pemuda menikah segera setelah baligh!
2. Perbedaan pacaran dengan bukan pacaran: (1) niat. Niatnya jelas hanya mencari kesenangan syahwat semata. (2) Menghalalkan cara-cara berinteraksi yang berbahaya dan dilarang Allah tanpa alasan terpaksa. (3) tidak memberikan batasan waktu yang cepat dan pasti unutk mengakhirinya dengan pernikahan. Misalnya dikatakan: kami menikah sekitar 2-3 tahun lagi lah!

Kalau memang hubungannya dalam rangka ta’aruf, maka harus ada batas waktu sampai saat pernikahan. Sehingga menahan diri dalam penantian ini masih bisa dibenarkan jika sedang berproses untuk menghalalkannya sesegera mungkin. Wallahua’lam apa lagi. Hati kita sendirilah yang bisa menilai dengan jujur.
Yang jelas, jika anda sudah pernah kenal calon anda itu maka anda pun tak butuh aktifitas ta’aruf! Usul kami, jika sudah siap, lamar saja sekarang. Kami dulu rekan sefakultas yang sebelumnya memang akrab dalam aktivitas belajar bersama (grup belajar bersama 6 orang lagi). Segera setelah kami saling tertarik kami memproses untuk menikah, dan kemudian menikah. Antara mulai kenal sampai menikah sekitar 4 tahun, dan jarak antara mulai sepakat menikah dan akhirnya menikah sekitar kurang lebih beberapa bulan saja. Harap dicatat, masa itu belum ada istilah murobbi, ta’aruf (kami tokh sudah kenal) dijodohkan, atau bahkan istilah tarbiyahpun belum dikenal.
Saat itu menikah seusia kami dianggap sangat aneh (24 tahun, ditahun 1984). Bahkan saat pertama kali kenal, saya (SAN) belum berjilbab dan kamipun masih “sekuler”. Kami saling mengenal isi pikiran kami justru karena kami berubah bersama menuju Islam. Alhamdulillah kami dilindungi Allah dari kesesatan. Sebagai tambahan, saat menikah Pak Ihsan belum punya pekerjaan apapun selain pengalaman mengajar bahasa Inggris, ia ‘melangkahi’ (mendahului menikah) 4 kakaknya dan saya (SAN) melangkahi 2 orang. Alhamdulillah semua baik-baik saja sekarang. Alhamdulillah, sekali lagi Alhamdulillah.
3. Yang dimaksud dengan proses melihat calon istri, harus dilakukan sesuai dengan aturan syari’at. Tak boleh melihat auratnya dan tak boleh berkhalwat. Itupun hanya butuh satu (maksudnya satu kali pertemuan) kali melihat (kecuali terpaksa) tak perlu berkali-kali dan berulang-ulang sehingga seperti orang wa-kun-car (wajib kunjung pacar) atau "ngapel". Jika selebihnya bisa jatuh ke zina mata yaitu melihat dengan rasa ingin atau rasa kagum.
4. Anda berhak memilih siapapun calon anda dan dari suku, golongan, kelompok manapun asal anda tetap mengedepankan kriteria mencari yang shalihat. Jika anda mencari yang shalihat pasti yang MAU berusaha tutup aurat dan terbukti sanggup melakukannya (apalagi zaman sekarang tantangannya kecil dibanding zaman kami dulu). Saat ini jika seorang wanita masih enggan berjilbab padahal ia sudah tahu jilbab itu wajib dan lingkungan sudah mempermudah, kemungkinan besar ia wanita yang lemah kepribadiannya. Setidaknya ia adalah orang yang mendahulukan hal-hal lain sebelum mempedulikan Allah. Yang begini sulit disebut shalihat. Jika ada wanita baik akhlaknya namun belum berjilbab, mungkin dia belum tahu wajibnya jilbab. Maka kewajiban anda mengujinya, setelah memberitahu dan mengajarkan padanya aturan Allah ini.

Lain lagi hal wanita berjilbab yang tidak baik akhlaknya.... itu pasti karena kelemahannya sendiri, atau karena ia belum pernah diajarkan akhlak. Atau untuk lebih mudahnya, dapat kami katakan bahwa kewajiban berjilbab adalah bagian dari KEWAJIBAN berakhlak baik yang sejajar dengan berbuat baik kepada tetangga, menghormati ortu dsb.

0 komentar:

Posting Komentar