Demo Site

Selasa, 06 April 2010

Buruk Muka, (Jangan) Cermin Dibelah


Kita tentu sering bercermin, memperhatikan setiap inci dari wajah dan penampilan sebelum keluar rumah. Tidak sedikit orang yang memerlukan waktu berjam-jam untuk bercermin, membenahi dandanan, membersihkan wajah, menyingkirkan segala apapun yang sekiranya dapat mengurangi keindahan penampilan, serta menambahkan apapun (juga) yang dapat memperindah, mempercantik diri. Bahkan tidak jarang, meski sudah berjam-jam berada di depan cermin, masih muncul perasaan kurang percaya diri sehingga memaksanya untuk kembali lagi ke depan cermin, memutar tubuh, ke kanan ke kiri, sedikit menunduk, melenggak-lenggok bolak-balik di seputar cermin hingga semuanya terasa perfect, barulah ia melangkah keluar kamar. Sudah cukup? Belum. Karena di halaman tamu, masih saja bertanya kepada ibu, adik, kakak, suami, atau istri tentang penampilannya hari ini.

Siapa sih yang tidak pernah bercermin? Jika bukan karena tempat tinggalnya yang jauh sangat terpencil sehingga tidak ada penjual cermin yang datang ke tempat itu, atau karena teramat sangat papanya bahkan sebuah cermin pun tak dapat dibelinya, mungkin tak ada orang yang tidak memiliki cermin. Kalau memang sekiranya demikian, toh bisa saja pecahan kaca cukup untuk sekedar melihat bagaimana penampilan hari ini. Tidak cukup bercermin di rumah, (biasanya wanita) masih ada orang yang tak ketinggalan untuk membawa serta cermin kecil (menyatu dengan bedak) di dalam tas kerjanya.
Di kendaraan, baik di bus maupun kendaraan pribadi kita senantiasa menyempatkan diri untuk bercermin, itupun masih ditambah senyum-senyum sendiri ketika mendapatkan ‘OK’ di wajahnya. Setiap berjalan melewati tempat parkir dimana mobil-mobil berjajar, jujur saja, pasti Anda adalah satu dari orang yang tidak membuang kesempatan untuk sekedar menoleh melihat bayangan sendiri disitu. Atau juga ketika melewati etalase-atalase toko, hal yang sama kita lakukan.
Rasa cemas biasanya langsung bereaksi ketika sekilas saja mendapatkan sesuatu yang tidak pas pada penampilan kita. Tidak jarang bahkan ada yang panik sedemikian rupa, apalagi bila saat itu tengah berada di tempat khalayak ramai. Jatuh pasaran lah, harga dirilah, malu dan sebagainya menjadi alasan untuk segera mencari tempat untuk memperbaiki penampilan. Kondisi demikian sangat wajar, karena setiap orang pada dasarnya selalu ingin tampil menarik, baik selain juga ada hasrat untuk dipandang baik. Untuk sebagian orang mungkin, berpenampilan cantik dan indah juga untuk menarik perhatian orang lain, mengharap pujian, pusat perhatian, atau sekedar kesenangan.
Apapun alasannya, termasuk karena memang ada orang-orang yang terbiasa tampil baik dan menarik, menjadikan diri ini berharga di mata orang lain itu sangat lah penting. Karena jelas, performa seseorang juga bisa terlihat dari caranya berpakaian (termasuk keserasian paduan warna), berjalan, bersikap. Tidak cukup dengan itu, masih ada tambahan aksesoris dan wewangian yang dipakai untuk menambah kesempurnaan diri. Intinya, setiap orang butuh (merasa wajib) bercermin!
Namun demikian, tentu sangat naif jika kita hanya memperhatikan penampilan luarnya saja tanpa mempedulikan aspek dalam diri kita yang sesungguhnya jauh lebih berharga. Karena jauh lebih berharga, sudah barang tentu semestinya jauh lebih diperhatikan, dibenahi dan diperindah. Dua hal yang berada didalam diri ini yang jauh lebih berharga dimaksud adalah, Akal dan Hati.
Ingat iklan layanan masyarakat “tulalit” tentang seruan membaca? Tentu saja, sebaik dan sesempurna apapun penampilan fisik jika tidak ditunjang akal pikiran yang cerdas dan sehat, menjadikannya sebagai pribadi yang tidak berharga. Kalaupun ada yang sempat meliriknya, bisa dipastikan tidak berapa lama hal itu berlangsung, mungkin bisa dihitung sesaat setelah obrolan pertama.
Hal kedua, yakni Hati. Semestinya menjadi kepentingan setiap individu juga untuk menata dan membersihkannya, untuk kemudian senantiasa memperbaharui isinya dengan hal-hal kebaikan. Jika dibiarkan tak tertata, tak diperhatikan dan apalagi tak sekalipun dibersihkan dari kotoran-kotoran yang kerap menyerang, niscaya cermin hati ini menjadi pekat oleh titik-titik debu yang pekat. Padahal, hati adalah cermin, dengan melihat hati, kita tentu bisa melihat setiap kesalahan dan kebaikan, setiap kebenaran dan kebatilan yang dilakukan. Untuk kemudian mengambil sikap, sadar dan taubat jika melakukan hal salah, dan terus meningkatkan setiap amal kebaikan.
Namun jika cermin hati ini sudah hitam pekat, tentulah tak ada yang bisa memberi tahu kita salah dan benar. Hati yang bersih senantiasa menolak setiap kebatilan, akan tetapi jika ianya sudah sedemikian kotornya, seakan tak sanggup lagi menolak setiap perbuatan maksiat yang terus menerus kita tumpuk. Maka sebelum semakin sulit dibersihkan, sebaiknya setiap titik debu yang menempel segera dibersihkan, agar cermin hati ini kerap bergetar ketika menyebutkan asma-Nya, dan bertambah keimanan setiap mendengarkan ayat-ayat Allah. Agar juga cermin hati ini bisa berteriak lantang menentang setiap kekhilafan yang kita akan perbuat.
Dan jika kedua cermin itu, (Akal dan Hati) sudah terus terasah dan dibersihkan, maka cermin diri ini akan semakin sempurna menambah kesempurnaan penampilan luar yang juga setiap hari dibenahi. Paduan dua cermin akal dan hati tentu melahirkan pribadi yang berwibawa, profesional, elegant, bijaksana, sadar kewajiban dan hak secara proporsional, selain juga pribadi shaleh yang menjadi penghias diri yang paling utama. Jadi, jangan pernah biarkan cermin akal dan hati ini tak terurus, apalagi memecah cermin itu saat mendapati diri ini tak indah dalam bayangan cermin.
Andai suatu ketika bercermin mendapatkan wajah dan penampilan yang buruk, kenapa harus membelah cermin itu? Toh, pada saat bercermin itu hanya kita yang tahu keburukan sendiri. Sikap terbaik adalah membasuh wajah agar nampak bersih berseri sehingga cermin yang tak jadi kita belah itu tetap bisa memberi tahu setiap keburukan yang ada, setiap saat. Jika setiap hari menyempatkan diri bercermin (juga membawa cermin) untuk memperbaiki penampilan luar, kenapa juga tak membawa serta cermin akal dan hati. Cermin akal adalah membaca. Membaca dalam arti luas. Dengan membaca, kata yang keluar bukan tanpa makna, bukan omong kosong, melainkan kata-kata penuh isi yang berpengaruh. Sedangkan cermin hati, adalah dzikir. Dengan senantiasa mengingat Allah, maka menjadikan hati ini peka terhadap apapun yang bathil, salah dan tidak tepat, dan sebaliknya, akan senang atas segala kebenaran yang berlaku. Wallahu ‘a’lam bishshowaab (Bayu Gautama).

0 komentar:

Posting Komentar