Demo Site

Selasa, 06 April 2010

Impian Arini


Sebelumnya tak pernah terpikirkan olehnya untuk menggunakan kudung menutupi kepalanya. Jangankan untuk berkerudung, mendekat dengan mereka yang anggun berbusana muslimah pun tak pernah dilakukannya. Namun pertemuannya dengan teh Asih, istri kang Nirwan tetangga barunya membuatnya berbeda, terlebih setelah tetangga barunya itu menghadiahinya sebuah jilbab. Kini, meski malu-malu ia sudah mulai menutupi bagian atas tubuhnya dengan jilbab, plus baju gamis barunya. Anggun.

Sebelumnya tak pernah terpikirkan olehnya untuk menggunakan kudung menutupi kepalanya. Jangankan untuk berkerudung, mendekat dengan mereka yang anggun berbusana muslimah pun tak pernah dilakukannya. Namun pertemuannya dengan teh Asih, istri kang Nirwan tetangga barunya membuatnya berbeda, terlebih setelah tetangga barunya itu menghadiahinya sebuah jilbab. Kini, meski malu-malu ia sudah mulai menutupi bagian atas tubuhnya dengan jilbab, plus baju gamis barunya. Anggun.
Namanya Arini, sejak masih di SMU terkenal tomboy. Orang akan menyangka ia memakai rok setiap berangkat ke sekolah. Padahal tidak, roknya lebih pas disebut celana kedombrongan sebatas lutut yang terlihat seperti rok kebanyakan siswi sekolah lainnya. Rambutnya yang dipangkas habis gaya pria membuat orang lain sering salah memanggilnya, “mas …” Tidak seperti kebanyakan perempuan, ia berbicara lantang, ceplas-ceplos tak sedikitpun kesan kemayu, termasuk lagak dan cara berjalannya.
Selepas SMU dan mulai memasuki dunia kampus. Tomboynya makin menjadi. “Gue bebas berekspresi, selamat tinggal putih abu-abu,” teriaknya suatu ketika. Tidak ada yang berubah, rambutnya tetap pendek. Oblong, celana jeans-nya plus jaket belelnya tak ketinggalan. Arini juga tak beranting. Dan … semakin banyak yang salah memanggilnya, “mas …” Mungkin status keperempuanannya hanya terlihat di dua hal, pas ke toilet dan kalau sedang sholat (biar tomboy juga sholat lho…).
Nah, pas ke toilet kampus inilah ia sering menjumpai teman-teman jilbabernya. Mereka cantik … pikir Arini. Tidak di kampus, tidak di Mal atau dimana tempat ia sering menjumpai orang-orang berjilbab, menurutnya semua punya gaya yang sama dan sangat khas. Jilbab panjang sampai sepaha, baju panjang yang hampir menutup semua tubuhnya. Cara berjalan yang juga hampir tak ada bedanya. “Satu-dua sih beda. Ada yang gesit seperti dikejar anjing, ada juga yang santai. Tapi semuanya rata-rata berjalan dengan menundukkan kepala,” ingatnya.
Kebetulan di sebelah rumahnya ada tetangga baru yang ngontrak. Keluarga muda yang belum memiliki anak. Arini berkenalan dengan mereka. Itupun karena ibu muda itu dengan ramah menegur terlebih dulu setiap orang yang tinggal di daerahnya, termasuk Arini. Namanya, Asih, Arini memanggilnya, teh Asih. Suaminya yang lumayan cool tak berjenggot itu, kang Nirwan. Awalnya Arini mengira keramahan itu hal biasa yang dilakukan layaknya pendatang baru. Tapi ternyata tidak. Dua bulan dua minggu sudah ia bertetanggaan dengan keluarga itu, teh Asih dan kang Nirwan tetap ramah, malah semakin akrab dengan semua, juga Arini.
“teh, akhwat itu apa sih …” Arini menanyakan hal tersebut kepada teh Asih karena ia sering mendengarnya dalam interaksi beberapa kelompok di kampusnya. Setelah dijelaskan panjang lebar, Arini menambahkan pertanyaannya, “Kalau saya ..., akhwat apa bukan?” Terus pertanyaan demi pertanyaan mengalir seputar kosa kata yang ditelinganya akrab terdengar namun terasa asing, seperti ikhwan, ana, antum, akhi, ukhti de el el.
Arini memang serba bingung, teh Asih menjelaskan panjang lebar tentang definisi kata-kata yang ditanyakannya. Namun pada kenyataannya tak satupun akhi berjenggot dengan kehitaman dikeningnya, juga ukhti berkudung panjang yang menyapanya dengan sebutan ukhti dan melabelinya akhwat. Untuk sementara ia berasumsi, sebutan itu hanya berlaku dikalangan mereka. Tidak untuk dirinya yang plontos tak berkudung, polos tak bergamis. Apalagi sikapnya yang masih teplak teplok terhadap lawan jenis dan tegur sapanya yang gue-elo.
Pernah Arini diundang ke pengajian di kampusnya, dan ia mencoba untuk berkerudung. Ia tak punya jilbab yang panjang seperti yang biasa dikenakan teman-temannya. Alhasil, jilbab pendek alias bergo milik ibunya yang ia pakai. Sehabis pengajian, Arini bersungut-sungut karena sepanjang pengajian lebih banyak teman senasibnya (yang pakai jilbab hanya sewaktu pengajian) yang menegurnya. Ada sih beberapa, tapi kebanyakan ukhti itu lebih akrab dengan sesama jilbab panjang saja. Cuma salaman, tidak ada peluk cium pipi kiri-kanan seperti yang didapat sesama akhwat ketika datang maupun hendak berpisah. Indah dan sejuk Arini memandangnya, tapi tidak dirasa dihatinya.
Ada kerinduan yang tertanam akan kedamaian menjadi perempuan sebenarnya. Menutup aurat sebagai fitrahnya dan menjaga pandangan serta kemaluannya. Kembali Arini bertanya kepada teh Asih, apakah seorang akhwat boleh bersikap tomboy, boleh ngomong gue-elo, boleh bertegur sapa dengan lawan jenis, boleh bercanda, boleh ke Mal, boleh …. . Yang jelas tertangkap dalam benaknya, teh Asih agak berbeda dengan beberapa ukhti di kampusnya, meski teh Asih juga seorang akhwat. Begitu juga kang Nirwan, yang dengan sopan dan senyum penuh keramahan menegurnya, yang tidak jarang mengajaknya berdiskusi tentang Islam atau apa saja. kang Nirwan tidak kaku, pikir Arini. Meski ia tahu lelaki itu tetap menjaga pandangannya, dan tak sekalipun menyentuhnya.
Arini, dan juga banyak teman kampusnya, bukan tak ingin menjadi akhwat, tapi ia hanya ingin menjadi akhwat seperti teh Asih, juga beberapa ukhti yang cukup hangat tersenyum dan menyapanya. Arini ingin menjadi akhwat bukan sekedar agar tak ada lagi yang menyapa "mas" kepadanya. Hanya saja yang masih menjadi pertanyaan besar dibenaknya, kenapa hanya sebagian kecil yang memandang dirinya seperti yang dilakukan teh Asih …, hanya sebagian dari ukhti itu yang bisa menerimanya sebagai “akhwat” meski jilbabnya tidak sama panjangnya. Wallahu a’lam bishshowaab (Bayu Gautama, seperti diceritakan seorang ‘ukhti’).

0 komentar:

Posting Komentar